Jumat, 25 Februari 2011

ANALGESIK

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri.
Tetapi semua analgesik opioid menimbulkan adiksi, maka usaha untuk mendapatkan suatu analgesik yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesik yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi.
Yang termasuk golongan obat opioid adalah :
  1. obat yang berasal dari opium-morfin
  2. senyawa semisintetik morfin
  3. senyawa sintetik yang berefek seperti morfin
Obat yang mengantagonis efek opioid disebut antagonis opioid. Reseptor tempat terikatnya opioid di sel otak disebut reseptor opioid.
            Dahulu digunakan istilah analgesik narkotik untuk analgesik kuat yang mirip morfin. Istilah ini berasal dari kata narkosis bahasa Yunani yang berarti stupor. Istilah narkotik telah lama ditinggalkan jauh sebelum ditemukannya ligand yang mirip opioid endogen dan reseptor untuk zat ini. Dengan ditemukannya obat yang bersifat campuran agonis dan antagonis opioid yang tidak meniadakan ketergantunganfisik akibat morfin maka penggunaan istilah analgesik narkotik untuk pengertian farmakologik tidak sesuai lagi.
            Peptida opioid endogen merupakan jenis peptida yang terdapat dalam otak dan jaringan lain yang terikat pada reseptor opioid, yakni enkefalin, endorfin, dan dinorfin. Peptida opioid endogen tersebut diperkirakan berpran pada transmisi saraf, meskipun mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal dari prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkefalin A, pro-opiomelanokortin (POMC) dan prodinorfin (proenkefalin B). Masing-masing prekursor mengadung sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid yang telah dideteksi dalam darah dan  berbagai jaringan.
            Reseptor opioid majemuk (multiple). Konsep reseptor analgesik yang berinteraksi dengan berbagai senyawa untuk menimbulkan senyawa analgesia sudah diajukan sejak lama, akan tetapi baru sejak 1973 reseptor opioid diidentifikasi dan dapat ditentukan distribusi anatomisnya. Opioid berinteraksi dengan reseptor opioid untuk menimbulkan efeknya dan potensi analgesik tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik. Telah terbukti terdapat berbagai jenis reseptor opioid di SSP dan adanya berbagai jenis reseptor tersebut dapat menjelaskan adanya berbagai efek opioid.
            Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong opioid dibagi menjadi :
  1. Agonis opioid menyerupai morfin, yaitu yang bekerja sebagai agonis terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada reseptor k  (contoh : morfin)
  2. Antagonis opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua resepor (contoh : nalokson)
  3. Opioid dengan kerja campur :
a.       Agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada reseptor lain (contoh : nalorfin, pentazosin)
b.      Agonis parsial (contoh : buprenorfin)

MORFIN  DAN ALKALOID OPIUM       
            Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L  yang telah dikeringkan. Alkaloid opium secara kimia dibagi dalam dua golongan :
  1. Golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein
  2. Golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin.

FARMAKODINAMIK
            Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin bekerja sebagai agonis pada reseptor ʋ. Akan tetapi selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang lebih lemah terhadap reseptor σ dan k.
                  SUSUNAN SARAF PUSAT. Narkosis. Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebeliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Morfin menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sudah berfikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi, ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi napas dan miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang dan dapat timbul muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam lingkugan yang tenang orang yang diberi dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi napas lambat dan miosis.
Analgesia. Efek analgesik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulus nyeri itu, penderita sering mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak menderita lagi.
            Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme :
  1. Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri
Mekanisme ini berperan penting jika morfin diberikan sebelum terjadi stimulasi nyeri. Bila morfin diberikan setelah timbul nyeri, mekanisme lain lebih penting.
  1. Morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari talamus. Setelah pemberian morfin penderita masih tetap merasakan nyeri, tetapi reaksi terhadap nyeri yaitu kuatir, takut, reaksi menarik diri (withdrawal) tidak timbul.
  2. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rasa nyeri meningkat.
Eksitasi. Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah efek eksitasi morfin ialah idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks (reflex excitatory level) SSP. Beberapa individu, terutama wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul. Kemungkinan timbulnya eksitasi ini lebih besar pada beberapa derivat morfin dan alkaloid alam lain. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi, sedang\kan heroin menyebabkan eksitasi sentral. Morfin dan obat konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka morfin tidak cocock untuk terapi konvulsi.
SALURAN CERNA. Penelitian pada manusia telah membuktikan bahwa morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui efeknya pada SSP.
Lambung. Morfin menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan labung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan mortilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh peninggian tonus duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak mempengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin
Usus halus. Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas dan memperlambat pencernaan makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsif, meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat pada duodenum. Penerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorpsi air menyebabkan isis usus menjadi lebih padat.
Usus besar. Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin sehingga penderita tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap efek morfin pada kolon dapat diantagonis oleh atropin.

FARMAKOKINETIK
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi melalu kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Dengan kedua cara pemberian ini absorpsi morfin kecil sekali. Morfin dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Mula kerja semua alkaloid opioid setelah suntikan IV sama cepat, sedangkan setelah suntikan subkutan, absorpsi berbagai alkaloid opioid berbeda-beda. Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat di hepar, sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya. Morfin dapat melintasi sawar uri dan mempengaruhi janin. Ekskresimorfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi ditemukan dalam empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari kodein, norkodein, dan morfin.

EFEK SAMPING
Idiosinkrasi dan alergi. Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Bentuk idiosinkrasi lainnya adalah timbulnya eksitasi dengan tremor, dan jarang-jarang darilium, lebih jarang lagi konvulsi dan insomnia. Berdasarkan reaksi alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Bayi dan anak kecil tidak lebih peka terhadap alkaloid opium, asalkan saja dosis diperhitungkan berdasarkan berat badan. Tetapi orang lanjut usia dan penderita berat agaknya lebih peka terhadap efek morfin. Morfin dan opioid lain juga harus digunakan dengan hati-hati bila daya cadangan napas (respiratory reserve) telah bekurang, misalnya pada emfisem, kifoskoliosis, korpulmonale kronik dan obesitas yang ekstrim. Meskipun penderita dengan keadaan seperti ini tampaknya dapat bernapas normal, sebenarnya mereka telah menggunakan mekanisme kompensasi, misalnya berupa frekuensi napas yang lebih tinggi. Pada penderita tersebut kadar plasma tinggi secara kronik dan kepekaan pusat napas terhadap telah berkurang. Pembebanan lebih lanjut dalam bentuk depresi oleh morfin dapat membahayakan.

TOLERANSI, ADIKSI DAN ABUSE
Terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang merupakan gambar-gambar spesifik obat-obat opioid. Kemungkinan untukterjadinya ketergantungan fisik tersebut merupakan salah satu alasan utama untuk membatasi penggunaannya.
Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut :
1.      habituasi, yaitu perubahan psikik emosional sehingga penderita ketagihan aakan morfn.
2.      ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh tidak berfugsi lagi tanpa morfin
3.      adanya toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek eksitasi, miosis, dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfi, dihidromorfinon, metopon, kodein, dan heroin. Tolerasi timbul setelah 2-3 minggu. Kemunkinan tibulna leransi lebih besar bila digunakan dosis besar secara teratur.
Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah gejala putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkan morfin, pecandu tersebut merasa sakit, gelisah dan iritabel, kemudian tertidur nyenyak. Setelah waktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin, mual, demam, dan napas cepat.
Gejala ini makin hebat disetai timbulnya muntah, kolik, dan diare. Frekuensi denyut jantug dan tekanan darah meningkat. Penderita merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibatnya timbul dehidrasi, ketosis, asidosis dan berat badan penderita menurun. Kadang-kadang timbul kolaps kardiovaskuler yang bisa berakhir dengan kematian.
Addiction labilty atau daya untuk menimbulkan adiksi berbeda-beda untuk maing-masing obat. Bahaaya terbesar didapat pada heroin sebab heroin menimbulkaneuforia yang kuat yang tidak disertai mualdan konstipasi. Kodein paling jarang menimbulkan adiksi karena kodein sedikit sekali menimbulkan euforia. Untuk menimbulkan adiksi terhadap kodein diperlukan dosis besar. Dengan dosis besar ini gejala yang tidak menyenangkan sudah terjadi sebelum timbul adiksi.
Telah terbukti bahwa kemungkinan untuk penyalahgunaan opioid yang tergolong opioid agonis-antagonis lebih kecil daripada opioid agonis µ. Demikian pula halnya dengan opioid yang bekerja selektif sebagai agonis pada reseptor k karena kecil kemungkinannya untuk menimbulkan euforia. Perbedaan potensi untuk penyalahgunaan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat untuk terapi.

INTERAKSI OBAT
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh fenotiazin, penghambat monoamin oksidase dan antidepresi trisiklik. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan depresi napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu, dan selain itu ada efek hipotensi fenotiazin.
Beberapa derivat fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat yang sama bersifat antianalgetik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik dan euforia morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu didapatkan sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin.

INDIKASI
Terhadap nyeri. Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan unuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan.

Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai :
1.      infark miokard
2.      neoplasma
3.      kolik renal atau kolik empedu
4.      oklusio akut pembuluh darah perifer,pulmonal, atau koroner
5.      perikarditis akut, pleuritis, dan pneumotoraks spontan
6.      nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur, dan nyeri pascabedah
Sebagai medikasi preanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada penderita yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat preanestetik hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur, lebih baik digunakan penobarbital atau diazepam.

ANTAGONIS OPIOID
Obat-obat yang tegolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonia opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stres atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson yang dapat diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama dari nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, k dan σ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor u jauh lebih tinggi. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.
 Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin, analgesik, dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, tetapi juga memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.

FARMAKODINAMIK
Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen  diperlihatkan bahwa nalokson:
1.      menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya tinggi
2.      mengantagonis efek analgetik plasebo
3.      mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupuntur
Semua efek ini diduga berdasarakan antagonisme nalokson terhadap ipioid endogen yang dalam keadaan lebih aktif. Efek subyektif yang ditimbulkan nalorfin pada manusia tergantung dari dosis, sifat orang yang bersangkutan dan keadaan. Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan analgesia sama kuat pada penderita dengan nyeri pascabedah. Efek tersebut diduga disebabkan oleh kerja agonis paka reseptor K. Sehingga menimbulkan reaksi tidak menyenangkan misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh sampai timbulnya day dreams yang mengganggu atau lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering halusinasi visual.
 Nalorfin dan Levarolvan juga menimbulkan depresi nafas yang diduga karena kerjanya pada reseptor K. Berbeda dengan morfin depresi napas ini tidak bertambah dengan bertambahnya dosis. Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat dosis besar.

EFEK DENGAN PENGARUH OPIOID
            Semua efek agonis opioid pada reseptor ʋ diantagonis oleh nalokson dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokson pada penderita dengan depresi napas akibat agonis opioid, efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga seera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson menyebabkan kebaikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antaonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam, tergantung dari dosisnya.
            Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertgai dengan terjadinya fenomen overshoot misalnya berupa peningkatan frekuensi napas melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid. Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking) ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.
            Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian iba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi terhadap orang dengan ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.


FARMAKOKINETIK
            Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena hampir seuruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus diberikan parenteral. Obat ini dimetabolisme di hati terutama dengan glukuronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam debgan masa kerja 1-4 jam. Naltrekson efektif setelah pemberian per oral, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya, 6-naltreksol, merupakan antagonis opioid ysng lemah dan dan masa kerjanya panjang.
            Naltrekson lebih poten dari nalokson, pada penderita adiksi opioid pemberian 100 mg secara oral dapat menghambat efek euforia yang ditimbulkan oleh 25 mg heroin IV selama 48 jam.

TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN FISIK.
            Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomometik dari nalorfin. Nalokson, nalorfin dan levalorvan kecil kemungkinannya untuk disalahgunakan sebab:
  1. tidak menyebabkan ketergantungan fisik
  2. tidak menyokong ketergantungan fisik morfin, dan
  3. dari segi subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu.

INDIKASI
            Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan leh ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid, dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untyk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.

ANALGESIK-ANTIPIRETIK
ANALGESIK ANTI-INFLAMASI NONSTEROID
DAN OBAT PIRAI
Obat analgesik antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat yang sangat berbeda secara kimia tetapi memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut  juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin-like drugs). Suatu kelompok obat heterogen memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping karena sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG).


MEKANISME KERJA OBAT ANTI-INFLAMASI NON STEROID.
Efek terapi maupun efek samping obat-obat ini sebagian besar tergantung dari penghambatan biosintesis PG .Secara infitro dosis rendah aspirin dan indometasin menghambat produksi enzimatik PG. Golangan obat ini menghambat enzim siklooksiginase sehingga konversi asam arkidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklooksiginase dengan cara berbeda. Khusus paracetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti hipotalamus. Lokasi inflamasi biasa mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leokosit.
INFLAMASI. Fenomena inflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit  kejaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah
ü  Kalor (panas)
ü  Rubor (kemarahan)
ü  Tumor (bengkak)
ü   Dolor (nyeri/sakit)
ü   Function laesa (fungsinya terganggu).
Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan secara local antara lain :
Ø  Histamin
Ø  5- hidroksitriptamin(5 HT/serotonin)
Ø  Factor kemotaktik
Ø  Bradikinin
Ø  Leukotrien dan PG
Prostaglandin E2 (PGE2) dan prostasiklin (PGI2) dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritem, vasodilatasi dan peningkatan aliran darah local. Histamin dan bradikinin dapat meningkatkan permeabilitas vascular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar. Dengan penambahan sedikitn PG, Efek eksudasi histamin plasma dan bradikinin menjadi lebih jelas. Migrasi leukosit ke jaringan radang merupakan aspek penting dalam proses inflamasi. Obat mirip aspirin tidak menghambat system hipoksigenase yang menghasilkan leukotrien sehingga golongan obat ini tidak menekan migrasi sel. Walaupun demikian pada dosis tinggi terlihat juga penghambatan migrasi sel tanpa mempengaruhi enzim lipoksigenase. Obat yang menghambat biosintesis PG maupun leukotrien tertentu akan lebih poten menekan proses inflamasi.
RASA NYERI.PG hanya berperan pada nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau inflamasi. Jadi PG dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia,kemudian mediator kimiawi seperti bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata. Obat mirip aspirin tidak mempengaruhi hiperalgesia atau nyeri yang ditimbulkan oleh efek langsung PG.

EFEK FARMAKODINAMIK
Semua obat mirip aspirin bersifat antipiretik ,analgesik dan anti inflamasi. Ada perbedaan aktifitas diantara obat-obat tersebut misalnya:Parasetamol(acetaminofen) bersifat antipiretik dan analgesik tetapi sifat anti inflamasinya lemah sekali.
EFEK ANALGESIK. Sebagai analgesik, obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala,mialgia,artralgia dan nyeri lain yang berasal dari integument , juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan dengan inflamasi.Efek analgesiknya jauh lebih lemah daripada efek analgesik opiat.Tetapi berbeda dengan opiat ,obat mirip aspirin-aspirin tidak menimbulkan ketagihan dan tidak menimbulkan efek samping sentral yang merugikan. Obat mirip aspirin hanya mengubah persepsi modalitas sensorik nyeri,tidak mempengaruhi sensorik lain. Nyeri akibat terpotongnya saraf aferen,tidak teratasi dengan obat mirip aspirin. Sebaliknya nyeri kronis paska bedah dapat diatasi oleh obat mirip aspirin.
EFEK ANTIPIRETIK. Sebagai antipiretik, obat mirip aspirin akan menurunkan suhu badan hanya pada keadaan demam. Walupun kebanykan obat ini memperlihatkan efek antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksik bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Fenilbutazon dan antireumatik lainnya tidak dibenarkan digunakan sebagai antipiretik.
EFEK ANTIINFLAMASI. Kebanyakan obat mirip aspirin, terutama yang baru, lebih dimanfaatkan sebagai antiinflamasi pada pengobatan kelainan muskuloskelektal, seperti arthritis rheumatoid, osteoarthritis dan spondilitis ankilosa. Tetapi harus diingat bahwa obat mirip-aspirin hanya meringankan gejala nyeri dan inflamasi yang berkaitan dengan penyakitnya secara sistomatik, tidak menghentikan,memperbaiki atau mencegah kerusakan jaringan pada kelainan musculoskeletal
EFEK SAMPING. Selain menimbulkan efek terapi yang sama obat mirip-aspirin juga memiliki efek samping serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis PG. Selain itu kebanyakan obat bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat asam seperti di lambung, ginjal dan jaringan inflamasi. Jelas bahwa efek obat maupun efek sampingnya akan lebih nyata di tempat dengan kadar yang lebih tinggi.
            Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak lambung atau tukak peptic yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna. Beratnya efek samping ini berbeda pada masing-masing obat
Dua mekanisme terjadinya iritasi lambung:
·        Iritasi yang bersifat lokal yang menimbulkan difusi kembali asam lambung ke mukosa  dan menyebabkan kerusakan jarinngan.
·        Iritasi atau perdarahan lambung yang bersifat sistemik melalui hambatan biosintesis PGE2 dan PGI2 .
            Kedua PG ini banyak di temukan di mukosa lambung dengan fungsi menghambat sekresi asam lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Mekanisme kedua ini terjadi pada pemberian parenteral.
            Efek samping lain ialah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 (TXA2) dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan. Efek ini telah dimanfaatkan untuk terapi profilaksis trombo-emboli.
            Penghambatan biosintesis PG di ginjal terutama PGE2 berperan dalam gangguan homeostasis ginjal yang ditimbulkan oleh obat mirip aspirin ini. Pada orang normal gangguan ini tidak banyak mempengaruhi fungsi ginjal. Tetapi pada penderita hipovolemia, sirosis hepatis yang disertai asites dan gagal jantung, alir darah ginjal dan kecepatan filtrasi glomeruli akan berkurang, bahkan dapat terjadi gagal ginjal.
            Pada beberapa orang dapat terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap aspirin dan obat mirip aspirin. Reaksi ini bisa berupa rinitis vasomotor, udem angioneurotik, urtikaria luas, asma bronkial, hipotensi sampai keadaan persyok dan syok. Diantara aspirin dan obat mirip aspirin dapat terjadi reaksi hipersensitif silang. Menurut hipotesis terakhir, mekanisme reaksi ini bukan suatu reaksi imunologik tetapi akibat tergesernya metabolism asam arakidonat kearah jalur hipoksigenase yang menghasilkan leukotrien. Kelebihan produksi leukotrien inilah yang mendasari terjadinya gejala tersebut.


PIRAZOLON
ANTIPIRIN, AMINOPIRIN, DAN DIPIRON.
Antipirin (fenazon)adalah 5-okso-1-fenil-2,3-dimetilpirazolidin. Aminopirin (amidopirin) adalah derivat 4-dimetilamino dari antipirin. Dipiron adalah derivate metansulvonat dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat diberikan secara suntikan.

INDIKASI
Dipiron saat ini hanya digunakan sebagai analgesic-antipiretik karena efek anti-inflamasinya lemah. Sedangkan antipirin dan aminopirin tidak digunakan lagi karena lebih toksik dari pada dipiron. Karena keamanan obat ini diragukan, sebaikntya dipiron dberikan bila dibutuhkan analgesic antipiretik suntikan atau dilatasi yang tidak tahan analgesic yang lebih aman. Pada beberapa kasus penyakit Hodgkin dan periarteritis nodosa, dipiron merupakan obat yang masih bisa digunakan untuk meredakan demam yang sukar diatasi dengan obat lain.
Dosis untuk dipiron 3kali 0,3-1g sehari. Dipiron tersedia dalam tablet 500mg dan larut obat suntik yang mengandung 500mg/ml.

EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI.
Semua derivate pirazolon dapat menyebabkan agranulositosis,anemia aplastik dan trombositopenia. Efek sampingnya bersifat fatal sehingga pemakaiannya dilarang sama sekali. Di Indonesia frekuensi pemakaian cukup tinggi dan agranulositosis telah dilaporkan pemakaian obat ini, tetapi belum ada tentang angka kejadiannya. Maka pada pemakaian dipiron jangka panjang, harus diperhatikan kemungkinan diskrasia darah ini. Dipiron juga dapat menyebabkan hemolisis, udem, tremor, mual dan muntah, perdarahan lambung, dan anuria.
Aminopirin tidak lagi diizinkan beredar di Indonesia sejak tahun1977 atas dasar kemungkinan membentuk nitrosamine yang bersifat karsinogenik.


OBAT PIRAI.
Ada 2 kelompok obat penyakit pirai yaitu obat yang menghentikan proses inflamasi akut misalnya kolkisin, fenilbutazon,oksifenbutazon, dan indometasin dan ibat yang mempengaruhi kadar asam urat misalnya probenesid, alopurinol, dan sulfinpirazon.
Obat yang mempengaruhi asam urat tidak berguna untuk mengatasi serangan klinis kadang-kadang meningkatkan serangan pada awal terapi. Kolkisin dalam dosis profilaktik dianjurka diberikan pada awal terapi alopurinol, sulfipirazol dan probenesid.

KOLKISIN
Kolkisin adalah suatu anti inflamasi yang unik terutama di indikasikan pada penyakit pirai. Obat ini merupakan alkaloid Colchicum autumnale sejeni bunga leli.

FARMAKODINAMIK.
Sifat antiradang kolkisin spesifik terhadap penyakit pirai dan beberapa artritis lainnya sedang sebagai antiradang umum kolkisintidak efektif karena tidak memiliki efek analgesic. Pada penyakit pirai, kolkisin tidak meningkatkan ekskresi, sintesi kadar asam urat dalam darah. Obat ini berikatan dengan protein mikrotubular dan menyebabkan depolimerisasi dan menghilangnya mikrotubul fiblilar granulosit dan sel bergerak lainnya. Hal ini menyebabkan penghambatan migrasi granulosit ke tempat radang sehingga pelepasan mediator inflamasi juga dihambat dan respons inflamasi ditekan. Selain itu mencegah pelepasan glikoprotein dari leukosit yang pada penderita gout menyebabakan nyeri dan radang sendi.

FARMAKOKINETIK
Absorbsi melalaui sluran cerna baik. Obat ini didistribusi secara luas dalam jaringan tubuh volume distribusinya 49,5 ± 9,5L. Kadar tinggi didapat diginjal, hati, limpaq, dan saluran cerna, tetapi tidak terdapat di otot rangka, jantung, dan otak. Sebaggian besar obat ini diekskresikan dalam bentuk utuh melalui tinja, 10-20 % diekskresikan melalui urine. Pada penderita dengan penyakit hati eliminasinya berkurang dan lebih banyak yang diekskresi lewat urin. Kolkisin dapat ditemukan dalam leukosit dan urin sedikitnya untuk 9 hari seetelah suatu suntikan IV.

EFEK NONTERAPI
Efek samping yang paling sering ialah muntah, mual dan kadang-kadang diare, terutama dengan dosis maksimal. Bila efek ini terjadi, pengobatan harus dihentikan walaupun efek terapi belum tercapai. Gejala saluran cerna ini tidak terjadi pada pemberian IV dengan dosis terapi, tetapi bila terjadi ekstravasasi dapat menimbulkan peradangan dan nekrosis kulit serta jaringan lemak.
            Depresi sumsum tulang,purpura, neuritis perifer, miopati, anuria, alopesia, gangguan hati, reaksi alergi dan colitis hemoragik jarang terjadi. Reaksi ini terjadi umumnya pada dosis berlebihan pada pemberian IV, gangguan ekskresi akibat kerusakan ginjal dan kombinasi keadaan tersebut. Koagulasi intravascular diseminata merupakan manifestasi keracunan kolkisin yang berat, timbul dalam 48 jam dan sering bersifat fatal. Kolkisin harus diberikan dengan hati-hati pada penderita lanjut usia, lemah, atau penderita dengan gangguan ginjal, kardiovaskular dan saluran cerna.

INDIKASI
            Kolkisin adalah obat terpilih untuk penyakit pirai. Pemberian harus dimulai secpatnya pada awal serangan dan diteruskan sampai gejala hilang atau timbul efek samping yang mengganggu. Gejala penyakit umumnya menghilang 24-48 jam setelah pemberian obat. Bila terapi terlambat efektivitas obat kurang. Kolkisin juga berguna profilaktik serangan penyakit pirai atau mengurangi beratnya serangan. Obat ini juga dapat mencegah serangan yang dicetuskan oleh obat urikosurik dan alopurinol. Untuk profilaksis, cukup diberikan dosis kecil. Penderita yang mendapat dosis profilaktit memberikan respon terhadap dosis kecil sewaktu serangan , sehingga efek samping tidak mengganggu
                Dosis kolkisin 0,5-0,6 mg tiap 2 jam sampai gejala penyakit hilang atau gejala saluran cerna timbul. Mungkin perlu diberikan sampai dosis maksimum 7-8 mg tetepi penderita tidak dapat menerima doisis ini.
                 Pemberian IV : 1-2 mg dilanjutkan dengan 0.5 mg tiap 12-24 jam. Dosis jangan melebihi 4 mg dalam satu regimen pengobatan. Untuk mencegah iritasi akibat ekstravasasi sebaiknya larutan 2 ml diencerkan menjadi 10ml dengan larutan garam faal.
PEMILIHAN OBAT
                       Untuk memilih antipiretika-analgesik tidak banyak masalah karena obat yang tersedia tidak banyak jenisnya. Untuk anak, pilihan antipiretik-analgesik, sebaiknya aspirin atau parasetamol. Kedua obat ini praktis sma efektiftasnya dan yang perlu dipertimbangkan adalah kemyngkinan efek samping terhadap kondisi tubuh si snak.
                       Untuk mengatasi nyeri inflamasi seperti pada penyakit reumatik tersedia banyak pilihan obat  anti inflamasi non steroid. Secara klinis sebenarnya tidak banyak perbedaan diantara obat AINS sehub ungan dengan efektivitasnya. Pertimbangan lamanya waktu paruh , bentuk lepas lambat dan perbedaan jenis efek samping menentukan pilihan AINS untuk penderita tertentu.
                       Ternyata variasi respons antar pasien terhadap AINS tidak begitu saja dikaitkan berdasarkan klasifikasi kimiawi, dosis, atau penyakit reumatik. Penilaian hasil terapi dengan obat AINS, minimal membutuhkan waktu 7 hari sebelum peningkatan dosis sesuai yang dianjurkan. Selama waktu tersebut harus dipantau timbulnya efek samping maupun adanya factor resiko. Juga perlu diingat sediaan lepas lambat cenderung bermasalah dalam bioavibilitasnya.
                       Hal tersebut dapat dijadikan patokan penggunaan praktis. Pertama harus dimengerti bahwa tidak ada AINS yang ideal. Tidak semua AINS yang tersedia dipasar perlu digunakan. Pilih 4 AINS, sesuai yang dikemukakan terdahulu dan pilih salah satu yang sesuai dengan kondisi pasien. Yang terakhir, mulailah dengan dosis kecil, tingkatkan bertahap sampai dosis maksimal yang dianjurkan, bila respons tidak memuaskan baru ganti dengan salah satu dari 3 AINS yang telah dikuasai.
                      
Petunjuk untuk memilih obat penyakit pirai :
1.Untuk mengatasi rasa nyeri akut termasuk proses inflamasi yang akut, sebaiknya diberikan dari pilihan kolkisin atau obat AINS yang memiliki daya anti-inflamasi yang kuat dan bekerja cepat
2.Untuk mengontrol kadar asam urat pilihan ada antara obat urikosurik atau obat yang menghambat produksi asam urat (urokostatik)
3.Pada penderita tipe over-producer yakni dimana ekskresi asam urat mencapai > 600 mg/hari, sebaiknya diberikan obat tipe urikostatik (contoh : alopurinol). Pada penderita tipe dimana ekskresi asam urat < 600 mg/hari, pilihan dicari dari kelompok obat urikosurik (contoh : probenesid dan sulfinpirazon).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar