Selasa, 01 Maret 2011

PERANAN PANCASILA DALAM ERA REFORMASI

BAB I
PENDAHULUAN
1.1      Latar Belakang
    Pembukaan UUD ’45 menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pasal-pasal dalam batang tubuh UUD ’45 juga memperjelas kewajiban negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Pasal 28B (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.

Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya. Pasal 31 menyatakan :
1) setiap warga berhak mendapat pendidikan,
2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,
3) negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).

Ketentuan UUD di atas menunjukkan bahwa pendidikan berkualitas memang menjadi salah satu titik tekan kebijakan umum pemerintah Indonesia sedari awal. Pendiri negara pada saat itu menyadari betul pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa.

 Reformasi merupakan istilah yang amat populer pada masa krisis ini dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup berbangsa dan bernegara di tanah air tercinta ini, termasuk reformasi di bidang pendidikan . Pada era reformasi ini, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupan.

 Berbicara masalah reformasi pendidikan, banyak substansi yang harus direnungkan dan tidak sedikit pula persoalan yang membutuhkan jawaban. Sektor pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya membangun suatu masyarakat. Pendidikan senantiasa berusaha untuk menjawab kebutuhan dan tantangan yang muncul di kalangan masyarakat sebagai konsekuensi dari suatu perubahan, karena pendidikan sebagai "sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka".
1.2      Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini, yaitu :
1.      Bagaimana peranan pancasila dalam proses reformasi pendidikan ?
2.      Apa dampak dari reformasi pendidikan ?
3.      Apa saja masalah yang timbul akibat reformasi pendidikan ?
4.      Bagaimana arah ke depan reformasi pendidikan ?

1.3      Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu :
1.      Dapat menjelaskan peranan pancasila dalam proses reformasi pendidikan.
2.      Dapat menjelaskan dampak dari reformasi pendidikan.
3.      Dapat menjelaskan masalah yang timbul akibat reformasi pendidikan.
4.      Dapat menjelaskan arah ke depan dari reformasi pendidikan














BAB II
PEMBAHASAN

PERANAN PANCASILA DALAM PROSES REFORMASI PENDIDIKAN
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis.  

*      Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia

Sejak kelahirannya (1 Juni 1945) Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal sebagai Dasar Negara (Philosofische groundslag). Hal ini, dapat diketahui pada saat Soekarno diminta ketua Dokuritsu zyunbi Tyoosakai untuk berbicara di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni 1945, menegaskan bahwa beliau akan memaparkan dasar negara merdeka, sesuai dengan permintaan ketua. Menurut Soekarno, pembicaraan-pembicaraan terdahulu belum menyampaikan dasar Indonesia Merdeka. Bahkan Soekarno menyatakan :
ü  Pancasila
Menurut Muhammad Yamin (Pendidikan Pancasila, Kaelan, 2004 : 21) Pancasila memiliki 2 macam arti secara leksikal yaitu ;
“panca” atinya “lima” “syila” vocal i pendek atinya “batu sendi”,” atau “dasar”. “syiila” vocal i panjang artinya “peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau senonoh”.
Pancasila merupakan sebagai pandangan hidup dan moral bangsa Indonesia, sebagai falsafah bangsa Indonesia ataupun ideologi nasional yang bermuatkan nilai-nilai yang menjadi norma-norma atau pedoman tingkah laku bangsa Indonesia dalam segala bidang adalah merupakan inti dari nilai kebudayaan bangsa dan negara Indonesia. Dalam GBHN 1978 dikatakan bahwa bentuk bentuk kebudayaan sebagai pengejawantahan pribadi manusia Indonesia harus benar benar menunjukan nilai-nilai hidup dan makna kesusilaan yang dijiwai Pancasila. Jadi Pancasila sebagai pandangan hidup, falsafah negara ataupun ideologi bangsa Indonesia yang nilai-nilai moralnya diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menjadi nilai-nilai dari kebudayaan masyarakat.

ü  Reformasi
Reformasi  berasal dari kata “reformation” dengan kata dasar “reform” yang memiliki arti perbaikan, pembaharuan, memperbaiki dan menjadi lebih baik (Kamus Inggris-Indonesia, An English-Indonesia Dictionary, oleh John M. Echol dan Hasan Sahdily 2003). Reformasi berarti perubahan radikal untuk perbaikan dalam bidang sosial, politik, pendidikan atau agama di dalam suatu masyarakat atau negara. Orang-orang yang melakukan atau memikirkan reformasi itu disebut reformis yang tak lain adalah orang yang menganjurkan adanya usaha perbaikan tersebut tanpa kekerasan.
Reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan menyeluruh dari suatu sistem kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, hukum, sosial dan tentu saja termasuk bidang pendidikan. Reformasi juga berarti memperbaiki, membetulkan, menyempurnakan dengan membuat sesuatu yang salah menjadi benar.
Oleh karena itu reformasi berimplikasi pada merubah sesuatu untuk menghilangkan yang tidak sempurna menjadi lebih sempurna seperti melalui perubahan kebijakan institusional. Dengan demikian dapat dikemukakan beberapa karakteristik reformasi dalam suatu bidang tertentu yaitu adanya keadaan yang tidak memuaskan pada masa yang lalu, keinginan untuk memperbaikinya pada masa yang akan datang, adanya perubahan besar-besaran, adanya orang yang melakukan, adanya pemikiran atau ide-ide baru, adanya sistem dalam suatu institusi tertentu baik dalam skala kecil seperti sekolah maupun skala besar seperti negara sekalipun.
*      Reformasi Kebijakan Pendidikan
Reformasi pendidikan adalah upaya perbaikan pada bidang pendidikan. Reformasi pendidikan memiliki dua karakteristik dasar yaitu terprogram dan sistemik. Reformasi pendidikan yang terprogram menunjuk pada kurikulum atau program suatu institusi pendidikan. Yang termasuk ke dalam reformasi terprogram ini adalah inovasi. Inovasi adalah memperkenalkan ide baru, metode baru atau sarana baru untuk meningkatkan beberapa aspek dalam proses pendidikan agar terjadi perubahan secara kontras dari sebelumnya dengan maksud-maksud tertentu yang ditetapkan.Seorang reformer terprogram memperkenalkan lebih dari satu inovasi dan mengembangkan perencanaan yang terorganisir dengan maksud adanya perubahan dan perbaikan untuk mencapai tujuan baru. Biasanya inovasi pendidikan terjadi terlebih dahulu sebelum terjadinya reformasi pendidikan. Sementara itu reformasi sistemik berkaitan dengan adanya hubungan kewenangan dan distribusi serta alokasi sumber daya yang mengontrol sistem pendidikan secara keseluruhan. Hal ini sering kali terjadi di luar sekolah dan berada pada kekuatan sosial dan politik. Karakteristik reformasi sistemik ini sulit sekali diwujudkan karena menyangkut struktur kekuasaan yang ada.
Reformasi pendidikan diibaratkan sebagai pohon yang terdiri dari empat bagian yaitu akar, batang, cabang dan daunnya. Akar reformasi yang merupakan landasan filosofis yang tak lain bersumber dari cara hidup (way of life) masyarakatnya. Sebagai akarnya reformasi pendidikan adalah masalah sentralisasi-desentralisasi, masalah pemerataan-mutu dan siklus politik pemerintahan setempat. Sebagai batangnya adalah berupa mandat dari pemerintah dan standar-standarnya tentang struktur dan tujuannya. Dalam hal ini isu-isu yang muncul adalah masalah akuntabilitas dan prestasi sebagai prioritas utama. Cabang-cabang reformasi pendidikan adalah manajemen lokal (on-site management), pemberdayaan guru, perhatian pada daerah setempat. Sedangkan daun-daun reformasi pendidikan adalah keterlibatan orang tua peserta didik dan keterlibatan masyarakat untuk menentukan misi sekolah yang dapat diterima dan bernilai bagi masyarakat setempat. Terdapat tiga kondisi untuk terjadinya reformasi pendidikan yaitu adanya perubahan struktur organisasi, adanya mekanisme monitoring dari hasil yang diharapkan secara mudah yang biasa disebut akuntabilitas dan terciptanya kekuatan untuk terjadinya reformasi.
Sementara itu kebijakan adalah suatu ucapan atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan manajemen. Kebijakan adalah keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan.
Dengan demikian reformasi kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih baik.
Tiga problem mendasar dalam sewindu reformasi masih mengungkung bangsa, terlebih ditunggangi para koruptor di lingkungan instansi pendidikan. Praktis, pendidikan sebagai media pembebasan adalah jargon kosong. Karena pergantian menteri, bongkar pasang kurikulum, dan perubahan kebijakan lainnya hanya dijadikan ladang basah sosok manusia yang mempunyai kekuatan ideologi yang kuat, tangguh, dan komitmen tinggi. Dengan pendidikan karakter, maka Indonesia yang berideologi Pancasila akan tetap berperan dalam menghadapi globalisasi yang menghendaki penyeragaman dari Barat. Pancasila akan tetap menjadi falsafah berbangsa dan bernegara yang tak tergantikan oleh paham bernama globalisme. Selain itu, tuntutan besar yang harus direalisasikan adalah terciptanya pribadi yang cakap, terampil, dan professional
Gemuruh reformasi maupun peringatan sewindunya beberapa waktu lalu tidak terlihat dalam mengkritisi dan mendamba pendidikan bangsa di masa depan.
Arah reformasi pendidikan, ditandai masih menyisakan tiga problem utama. Pertama, problem kebijakan pemerintah yang tidak memiliki komitmen dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Dalam arti, kebijakan pemerintah selama ini belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dalam merancang merumuskan kemajuan bangsa. Penjelasan UUD 45 pasal 31 ayat 4 yang menyatakan bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ternyata belum terealisasikan secara maksimal hingga sekarang. Paling-paling alokasi dana hanya untuk anggaran rutin, belum menyentuh pengembangan jangka panjang. Tidak salah kalau pasal itu dikatakan sebagai "pajangan" yang menghiasi konstitusi negara Republik Indonesia. Bahkan, Prof. Suyanto pernah menyindir, mungkin saja pasal tersebut bisa dilakukan pada tahun 2018 nanti. Dalam arti, pemerintah sebenarnya tidak berkomitmen tinggi dalam mengalokasikan dana pendidikan.
Kedua, problem visi pendidikan yang belum bisa berpihak kepada rakyat jelata. Terbukti, berbagai perguruan tinggi sekarang hanya mampu menerima mahasiwa yang berkecukupan, sementara mahasiswa yang tidak berpunya hanya bisa gigit jari melihat saudara-saudaranya yang menikmati bangku kuliah. Atau mungkin mereka gundah karena melihat saudara se-Tanah Air berkhianat. Padahal, mereka yang termarginalkan banyak yang mempunyai potensi besar, yang kalau dikembangkan jauh melampaui mereka yang duduk manis dan senang-senang di perkuliahan.
Ketiga, problem kesadaran masyarakat Indonesia yang belum mencapai tahapan "kesadaran kritis". Bangsa ini masih berupa masyarakat dongeng yang sering terjebak mitos dan cerita misterius. Dalam istilah Paulo Freire, kita masih tenggelam dalam budaya "bisu": tidak mampu meluapkan seluruh aspirasi, potensi, dan kreativitas karena kungkungan tradisi dan otoritarianisme kekuasaan. Kita belum mampu seperti masyarakat Barat sebagai masyarakat baca yang selalu haus informasi di seluruh jagat raya. Konsekuensinya, masyarakat Indonesia susah diajak berpikir jauh ke depan, bahkan mungkin menganggap berpikir kritis sebagai kesia-siaan. Inilah dilema sekaligus ironi bangsa kita.
Tiga problem mendasar tersebut dalam sewindu reformasi masih mengungkung bangsa, terlebih ditunggangi para koruptor di lingkungan instansi pendidikan. Praktis, pendidikan sebagai media pembebasan adalah jargon kosong. Karena pergantian menteri, bongkar pasang kurikulum, dan perubahan kebijakan lainnya hanya dijadikan ladang basah para "maling republik"
*      Agenda ke Depan Pendidikan Bangsa Indonesia
 Ada beberapa agenda untuk membawa pendidikan bangsa di masa depan.
1.      mengoptimalkan kembali peran pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang bervisi kerakyatan dan kemanusiaan. Kurikulum pendidikan yang dibongkar-pasang selama ini terjebak dalam paradigma berpikir yang positivistik, bahkan mengarah pada sekularistik. Paradigma positivistik-sekuralistik yang diusung dari Barat hanya menjadikan pemikiran bangsa ini terbelah: kehilangan autentisitas diri dan terjebak dalam gemuruh sekularisme yang hedonis-materialistis. Pendidikan ke depan adalah kurikulum yang mampu menggugah potensi kreatif siswa didik yang autentik yang nantinya dapat berguna sebagai modal kehidupan ke depan serta mampu melestarikan tradisi dan budaya bangsa yang luhur nan agung.
2.      mengantisipasi arus informasi global dengan pendidikan berkarakter dan keterampilan yang profesional. Pendidikan berkarakter akan menciptakan sosok manusia yang mempunyai kekuatan ideologi yang kuat, tangguh, dan komitmen tinggi. Dengan pendidikan karakter, maka Indonesia yang berideologi Pancasila akan tetap berperan dalam menghadapi globalisasi yang menghendaki penyeragaman dari Barat. Pancasila akan tetap menjadi falsafah berbangsa dan bernegara yang tak tergantikan oleh paham bernama globalisme.
3.      Selain itu, tuntutan besar yang harus direalisasikan adalah terciptanya pribadi yang cakap, terampil, dan profesional. Siswa tidak hanya digugah potensinya, namun juga diberi pengarahan dalam mengembangkannya di masa depan, sehingga setelah sekolah mereka akan menjadi manusia unggul yang mengantarkan Republik Indonesia sebagai negara impian.
Secara kuantitatif, selama tiga dasa warsa terakhir, perkembangan jumlah sekolah di Indonesia sangat menggembirakan. Sebab, bisa dikatakan, selama 30 tahun ini, jumlah sekolah dasar (SD) misalnya naik sekitar 300%. Namun, perkembangan kuantitas itu tidak disertai peningkatan kualitas yang memadai. Akibatnya, muncul berbagai ketimpangan, di antaranya:
a)      Ketimpangan antara kualitas lulusan (out put) pendidikan dengan kualifikasi tenaga yang dibutuhkan.
b)      Ketimpangan pendidikan antara desa dan kota, antara Jawa dan luar Jawa, antara penduduk kaya dan miskin.
Masalah lain yang juga muncul:
1.      Pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial. Kedua, pendidikan sistem persekolahan cenderung hanya men-transfer pengetahuan yang bersumber dari buku (text bookish) kepada peserta didik.
2.      Sementara itu hasil pendidikan yang diharapkan mendatangkan peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa, ternyata memperlihatkan fenomena sebaliknya. Yaitu munculnya pengangguran terdidik yang cukup tinggi, konflik sosial, konflik antaretnik, separatis, demonstrasi, dan lainnya.
3.      Maraknya demonstrasi di negeri ini memberikan kesan bahwa negeri kita tidak aman dan tidak nyaman, karena adanya unsur kriminalitas, anarkhisme, terorisme, dan merosotnya nilai-nilai luhur bangsa, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai Pancasila.
Negara yang tak aman dan tak nyaman bisa menyebabkan terhalangi masuknya penanam modal (investor) ke Indonesia. Tidak adanya investor, tertutuplah lapangan kerja, dan meningkatlah angka pengengguran, dan menurunlah kemakmuran. Dengan demikian, masalahnya, pendidikan secara kuantitatif meningkat tapi pengangguran terdidik juga meningkat. Dengan kenyataan seperti itu, berarti makna pendidikan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bangsa tidak tercapai secara maksimal.
Selama ini, berbagai upaya solusi telah dilakukan, tapi hasilnya belum menunjukkan titik cerah, khususnya peningkatan kesejahteraan lahir dan batin, karena perubahan yang terjadi hanya bersifat tambal sulam. Lebih mendasar lagi, kegagalan pendidikan itu karena ketergantungan penentu kebijakan pendidikan pada penjelasan paradigma peranan pendidikan dalam perubahan sosial yang sudah usang. Ketergantungan itu menyebabkan adanya harapan-harapan yang tidak realistis dan tidak tepat terhadap efikasi pendidikan

*      Paradigma Pendidikan
Di antara paradigma pendidikan yang dianggap yang tidak realistis itu adalah paradigma pendidikan input-proses-output, yang telah menjadikan sekolah sebagai proses produksi barang dalam suatu pabrik.
·        Murid diperlakukan bagaikan raw-input (bahan mentah).
·        Guru, kurikulum dan fasilitas diperlakukan sebagai instrumental input. Jika raw-input dan instrumental input baik, akan menghasilkan proses yang baik dan akhirnya baik pula produk yang dikeluarkan.
Paradigma pendidikan tadi memiliki kelemahan mendasar yaitu memperlakukan dunia pendidikan sebagai sistem yang bersifat mekanik, yang  perbaikannya bersifat parsial, bagian mana yang dianggap tidak baik. Tentu saja asumsi itu jauh dari realitas, dan salah. Implikasi paradigma tersebut, sistem dan praktek pendidikan cenderung tidak sesuai realitas.
Paradigma itu tidak pernah melihat pendidikan sebagai suatu proses yang utuh dan bersifat organik (hidup), yang merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat secara totalitas. Di samping paradigma pendidikan input-proses-output tadi, para pengambil kebijakan pemerintah menjadikan pendidikan sebagai engine of growth (penggerak dan loko pembangunan). Sebagai penggerak pembangunan, pendidikan harus mampu menghasilkan penemuan dan pembaharuan yang merupakan inti pembangunan. Agar berhasil melaksanakan fungsinya, pendidikan harus diorganisir dalam suatu lembaga pendidikan formal persekolahan yang bersifat terpisah dan berada di atas dunia yang lain, khususnya dunia ekonomi. Pendidikan harus menjadi panutan dan penentu perkembangan dunia lain; dan bukan sebaliknya, perkembangan ekonomi menentukan perkembangan pendidikan.
Dalam lembaga pendidikan inilah berbagai ide dan gagasan dikaji, berbagai teori diuji, berbagai teknik dan metode dikembangkan, serta tenaga kerja dengan berbagai jenis kemampuan dilatih.Sesuai dengan peran pendidikan sebagai lokomotif dan penentu perkembangan masyarakat, maka bentuk sistem pendidikan yang dianggap paling tepat adalah jalur tunggal (singgle track) dan diorganisir secara terpusat sehingga mudah diarahkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Melalui jalur tunggal inilah lembaga pendidikan dianggap akan mampu menghasilkan berbagai tenaga kerja yang dibutuhkan dunia kerja. Agar proses pendidikan efisien dan efektif, pendidikan juga disusun dalam struktur yang bersifat kaku (rigid), manajemen bersifat sentralistik, kurikulum penuh pengetahuan dan teori-teori (text bookish).
              Tapi, pengalaman selama ini menunjukkan, pendidikan nasional sistem persekolahan tidak bisa berperan sebagai penggerak dan loko pembangunan. Bahkan, Gass lewat tulisannya Education versus Qualifications (1984) menyatakan, pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi, dengan munculnya bebagai permasalahan kultural dan sosial, serta kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
              Berbagai problem pendidikan tersebut bersumber pada kelemahan pendidikan nasional sistem persekolahan yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin diperbaiki atau disempurnakan hanya lewat pembaharuan (reformasi) yang bersifat tambal sulam. Pembaharuan pendidikan nasional sistem persekolahan yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari mencari penjelasan baru atas peran pendididikan dalam pembangunan.
              Dalam hal ini, pendidikan nasional persekolahan harus didasarkan pada peranan pendidikan dalam pembangunan nasional yang tepat, sesuai realitas masyarakat dan kultur bangsa sendiri.Sayangnya, paradigma peranan pendidikan dalam pembangunan yang diambil penentu kebijakan dewasa ini memiliki kelemahan, baik teoritis maupun metodologis. Ini karena tidak dapat ditemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Memang, secara mudah dapat dikatakan, pendidikan formal akan mengembangkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki sistem teknologi produksi yang makin kompleks. Namun, dalam kenyataannya, kemampuan teknologis yang diterima dari lembaga pendidikan formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Selain itu, adanya perubahan teknologi yang cepat, justru melahirkan dunia industri yang hanya memerlukan tenaga kerja dengan keahlian lebih sederhana dengan jumlah tenaga kerja yang lebih sedikit.
              Paradigma fungsional dan sosialisasi (yang dianut para penentu kebijakan selama ini) berasumsi bahwa investasi di bidang pendidikan formal sistem persekolahan akan menentukan pembangunan ekonomi di masa mendatang. Tapi, realitas menunjukkan, pendidikan persekolahan bukannya engine of growth, melainkan gerbong dalam pembangunan. Perkembangan pendidikan tergantung pada pembangunan ekonomi. Buktinya, hasil pembangunan tidak bisa dibagi secara merata, sehingga konsekuensinya adalah kesempatan untuk memperoleh pendidikan tidak bisa sama untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti fenomena sekarang ini. Paradigma sosialisasi hanya berhasil menjelaskan bahwa pendidikan memiliki peran mengembangkan kompetensi individual, tapi gagal menjelaskan bagaimana pendidikan dapat meningkatkan kompetensi yang lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas.
              Secara nyata, pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemampuan individual untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi modern. Makin lama waktu bersekolah makin tinggi pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Tesis ini ternyata ditentang Randal Collins lewat karyanya The Credential Society: An Historical Socilology of Education and Stratification (1979). Dikatakannya, pekerja dengan pendidikan formal lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan pekerja yang memiliki pendidikan lebih rendah. Banyak keterampilan dan keahlian justru dapat diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Ini berarti tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang canggih.
              Mengingat hal itu, untuk mencari paradigma yang tepat tentang peran pendidikan dalam pembangunan yang bersifat kompleks dan interaktif, perlu dipertimbangkan sebuah paradigma baru yang dinamakan paradigma pendidikan sistemik-organik, yang mendasarkan pada doktrin ekspansionisme dan teleologi. Ekspansionisme merupakan doktrin yang menekankan bahwa segala aspek, peristiwa dan pengalaman merupakan bagian-bagian yang tidak terpisahkan dari suatu keseluruhan yang utuh. Suatu bagian hanya akan memiliki makna kalau dilihat dan dikaitkan dengan totalitas, sebab keutuhan bukan sekadar kumpulan dari bagian-bagian. Keutuhan satu dengan yang lain berinteraksi dalam satu sistem terbuka, karena jawaban suatu problem bisa muncul dalam suatu kesempatan berikutnya.
              Paradigma pendidikan sistemik-organik menekankan, proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri berikut:
·        Pertama, pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching).
·        Kedua, pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel.
·        Ketiga, pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri.
·         Keempat, pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.
Paradigma pendidikan sistemik-organik menuntut adanya pendidikan yang bersifat double tracks. Artinya, pendidikan sebagai suatu proses tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat umumnya, dan dunia kerja khususnya. Keterkaitan ini memiliki arti bahwa prestasi peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat umumnya.
            Dengan kata lain, pendidikan yang bersifat double tracks menekankan bahwa untuk mengembangkan pengetahuan umum dan spesifik, harus melalui kombinasi yang strukturnya terpadu antara tempat kerja, pelatihan, dan pendidikan formal sistem persekolahan. Dengan double tracks ini, sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan pembangunan yang selalu berubah cepat.
            Berbagai permasalahan pendidikan dalam masyarakat kita di atas, khususnya ketimpangan antara kualitas pendidikan dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan dunia kerja, itu semua merupakan refleksi adanya kelemahan mendasar dalam dunia pendidikan kita. Karena kelemahannya mendasar, setiap upaya memperbaharui pendidikan tidak akan ada gunanya, kecuali menyentuh akar filosofis teori pendidikan. Di sini, pendidikan tidak bisa dilihat sebagai dunia tersendiri, melainkan harus dipandang dan diberlakukan sebagai bagian masyarakatnya. Karena itu, proses pendidikan harus memiliki keterkaitan dan kesepadanan secara mendasar serta berkesinambungan dengan proses yang berlangsung di dunia kerja.Dengan cara demikianlah kita akan bisa mewujudkan model pendidikan yang mampu mengantisipasi ketimpangan kualitas dan kualifikasi tenaga kerja yang dibutuhkan dunia kerja.























DAFTAR PUSTAKA

Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia, Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung, 1999.

Zamroni, Paradigma Pendi-dikan Masa Depan, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2000

kewarganegaraan-di-perguruan-tinggi/


http://theindonesianinstitute.com/index.php/20050601146/REFORMASI-PENDIDIKAN-DASAR-DI-INDONESIA.html







Tidak ada komentar:

Posting Komentar